Rindu Tanah Leluhur, Yusinta Ningsih Memilih Pulang

Soe, Timor Savana – Di tengah hiruk pikuk Jakarta, ada satu kerinduan yang tak pernah padam dalam hati Yusinta Ningsih Nenobahan Syarief: kembali ke tanah kelahirannya, Timor Tengah Selatan (TTS), dan melihat budaya leluhur tetap hidup di tengah zaman yang kian berubah.

Kerinduan itu terbayar saat ia berdiri di bawah terik matahari Kota Soe, mengikuti pawai pembangunan dan karnaval budaya memperingati HUT ke-80 Republik Indonesia. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya berbinar saat menyaksikan anak-anak menari di jalanan dengan pakaian adat.

“Agustus selalu istimewa buat saya. Selain bulan kemerdekaan, bulan ini juga mengingatkan saya pada kampung halaman yang sebentar lagi ulang tahun. Tapi saya datang bukan sekadar merayakan. Saya datang untuk mengingatkan kita semua agar tidak meninggalkan budaya dan identitas kita,” katanya dengan suara bergetar.

Bagi Yusinta, karnaval seharusnya menjadi panggung kebanggaan budaya, bukan sekadar pesta hiburan. Ia tak menampik, beberapa tahun belakangan media sosial dipenuhi video karnaval yang lebih menonjolkan sound system menggelegar dan joget massal ketimbang warisan budaya.

“Anak muda kita memang butuh ruang berekspresi, tapi karnaval ini tempat kita merayakan warisan nenek moyang. Kalau isinya hanya musik keras dan joget, apa yang kita wariskan untuk generasi berikutnya?” ujarnya dengan nada tegas.

Ia mengaku prihatin melihat budaya perlahan tergerus modernisasi. “Anak muda kita banyak yang sudah tidak kenal tarian atau alat musik tradisional. Pengangguran tinggi, arus modernisasi tanpa arah menyeret mereka jauh dari akar budaya. Kalau kita tidak peduli, siapa lagi?” katanya.

Tahun ini, Yusinta bersama yayasan yang dipimpinnya menampilkan tarian Telsain dari Nunkolo dan tarian gong tradisional. Sebuah usaha kecil, namun baginya berarti besar. “Saya ingin orang tahu, kita masih punya ini. Kita masih kaya budaya,” tuturnya.

Didampingi suaminya, ia menyusuri rute pawai yang ditetapkan panitia. Panas menyengat, napas terasa berat, namun setiap langkahnya sarat makna. “Lelah itu hilang saat saya melihat senyum orang-orang di pinggir jalan. Inilah tanah saya. Inilah identitas saya,” ujarnya sambil tersenyum haru.

Harapannya sederhana namun mendalam. “Tahun depan, saya ingin lebih banyak yang tampilkan budaya asli. Bukan cuma pakai baju adat atau pasang baliho. Tunjukkan tarian kita, musik kita, cerita kita. Biar dunia tahu, TTS maju tanpa kehilangan jati dirinya,” kata Yusinta.

Baginya, karnaval bukan sekadar seremonial tahunan. Ini tentang memastikan anak cucu kelak tahu dari mana mereka berasal. “Kalau kita tidak rawat, budaya kita akan hilang. Dan saat itu terjadi, kita kehilangan siapa kita sebenarnya,” ujarnya menutup pembicaraan dengan mata yang berkaca-kaca.

Berita Terkait

YNS Turun Tangan di Jalan Kolonakaf: ...
Alat Berat Turun, Jalan Kolonakaf Mulai ...
YNS Kembali Bantu Korban Longsor TTS, ...
YNS : Perempuan Timor Harus Berani Bersikap ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *