
“Ini hanya data yang kami dampingi. Kami yakini, kasus yang tidak dilaporkan jauh lebih banyak. Ibarat fenomena gunung es, yang tampak di permukaan jauh lebih sedikit dari kenyataan di lapangan,” tegas Sesdi.
Ia menjelaskan, sejak UPT P3A berdiri pada 2017, berbagai upaya preventif telah dilakukan, mulai dari sosialisasi aturan perundang-undangan hingga pendampingan korban.
“Awalnya masyarakat bingung, mau lapor ke mana, ambil tindakan bagaimana. Keterbatasan akses dan rasa takut membuat banyak korban memilih diam,” ungkapnya.
Namun, menurutnya, tingkat kesadaran masyarakat kini mulai meningkat seiring masifnya sosialisasi. “Sekarang masyarakat sudah tahu hak mereka. Mereka berani melapor dan meminta pendampingan,” jelasnya.
Peningkatan jumlah kasus yang tercatat, kata Sesdi, sebenarnya menjadi paradoks tersendiri. “Tujuan kita adalah menekan angka kekerasan. Tapi justru angka laporan naik. Ini kami lihat sebagai progres. Artinya masyarakat mulai peduli dan berani mencari keadilan,” ujarnya.
Ia menegaskan, tantangan ke depan adalah memastikan setiap laporan direspons cepat, korban terlindungi, dan pelaku mendapat hukuman setimpal. “Kita harus bergandengan tangan, baik pemerintah, LSM, dan masyarakat, untuk benar-benar menekan angka kekerasan ini,” tutup Sesdi.