
Timorsavana. Com||Kupang — Suara Yohanis Landu Praing terdengar tegas namun tenang. Pejabat Pelaksana Tugas Direktur Utama Bank NTT itu tengah memaparkan strategi digitalisasi keuangan daerah dalam forum dialog bertema Optimalisasi PAD Pemprov NTT
Tujuannya jelas: mendorong optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di seluruh penjuru Nusa Tenggara Timur.
“Kami memfasilitasi penerimaan digital atau elektronifikasi dalam rangka peningkatan PAD. Ini tidak bisa ditunda,” kata Yohanis di hadapan perwakilan pemerintah daerah, pengelola pajak, dan regulator keuangan.
Bank NTT, menurutnya, telah mengintegrasikan kanal pembayaran digital untuk berbagai sektor vital seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), retribusi pasar, pengelolaan sampah, hingga pajak hotel dan restoran—sumber-sumber PAD yang selama ini belum tergarap secara optimal.
“Saat ini kami juga tengah menyempurnakan sistem SP2D online, e-Samsat, integrasi tagihan, sistem informasi pemerintahan daerah, serta pajak daerah,” jelas Yohanis.
Lebih dari sekadar jargon, digitalisasi yang diusung Bank NTT menyentuh lapisan paling dasar dalam tata kelola keuangan pemerintah: penerimaan. Salah satu inovasi yang kini mulai dirasakan manfaatnya ialah penerapan QRIS (*Quick Response Code Indonesian Standard*) untuk pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).
“Pembayaran PKB melalui QRIS? Sangat bisa. Di mesin EDC kami sudah tersedia fitur QRIS, baik statis maupun dinamis, yang langsung bisa digunakan untuk transaksi pajak,” terang Yohanis.
Tak hanya melalui EDC, kanal pembayaran juga dibuka lewat teller bank, layanan mobile banking, hingga agen *Di\@Bis@* yang tersebar di desa-desa dan kampung-kampung.
Bank NTT juga tengah menjajaki kolaborasi erat dengan Badan Aset Daerah. “Kami sedang berkoordinasi agar seluruh penerimaan yang seharusnya masuk ke kas daerah bisa tercatat, termonitor, dan tersalurkan secara digital,” tambahnya.
Langkah ini dinilai sejumlah pihak sebagai terobosan penting. Seorang pengamat keuangan daerah di Kupang menyebutnya sebagai *game changer* dalam tata kelola fiskal di NTT, yang selama ini masih banyak bergantung pada sistem manual dan pelaporan konvensional.
“Kalau Bank NTT berhasil memimpin ini, maka keuangan daerah bisa lebih sehat, transparan, dan akuntabel,” kata seorang auditor independen yang kerap menangani proyek-proyek keuangan daerah.
Dengan ratusan miliar potensi PAD yang masih tersembunyi di balik praktik lama dan sistem pencatatan yang lemah, digitalisasi bisa menjadi jalan baru bagi daerah-daerah di NTT untuk mengejar ketertinggalan fiskal mereka.
Di tengah transformasi ini, Bank NTT tak lagi sekadar menjadi bank pembangunan daerah, melainkan juga mesin pemungut rupiah-rupiah yang tercecer—dari desa, pasar, hotel, hingga layar ponsel warga.