
Saya dan anak-anak saya masih menggunakan rumah yang kayu-kayunya dari ratusan tahun yang lalu, sehingga jika kita terus pelihara hutan kita yang kayu-kayunya lapale, makan sepanjang puluhan sampai ratusan tahun tidak ada penebangan pohon karena kayu-kayu asli dari tanah kita ini masih sangat awet.
Dalam sebuah diskusi ekologis bertajuk Urgensi Keadilan Ekologis digelar di Kampung Rate Wana, Bumi Pada Eweta Manda Elu, Kabupaten Sumba Barat, Jumat (5/9/2025), Yang di inisiasi oleh WALHI NTT dalam rangka menyongsong Pekan Nasional Lingkungan Hidup-WALHI (PNLH XIV) Menyoroti Pelestarian lingkungan, Adat istiadat dan Budaya masyarakat di pulau Sumba. Kegiatan ini menghadirkan tokoh adat, pemerintah, serta organisasi lingkungan yang membahas pentingnya menjaga budaya leluhur, lingkungan, dan kearifan lokal masyarakat Sumba.
Perwakilan Rato, Bapak Kornelis Bili dalam sambutan dan pemaparan materi diskusinya menyampaikan ucapan terimakasih untuk seluruh hadirin. Hari ini kita duduk bersama untuk diskusi tentang keadilan ekologis. Sehingga peranan masyarakat adat sangat penting untuk mengetahui bagaimana urgensi perubahan iklim kita hari ini. Sebagai salah satu contoh hutan Porolombu yang dulunya masih sangat luas dan menjadi salah satu penyangga kehidupan khususnya kita masyarakat disekitar akan tetapi hari ini sudah sangat rusak dan gundul, kalau kita tinggalkan terus maka suatu saat nanti bisa terjadi longsor. Jadi kami sebagai masyarakat adat yang ada disini sangat terancam jika krisis iklim ini kita biarkan terus terjadi.
Rato Kornelis juga menyampaikan berbagai ritual adat marapu yang kami lakukan, selalu mengutamakan keseimbangan lingkungan hidup. Kami memilih kayu untuk membangun rumah namanya lapale yang kekuatannya ratusan tahun, buktinya rumah saya sekarang kayu-kayunya masih dari jaman nenek saya dan saat ini masih kokoh tidak lapuk. Saya dan anak-anak saya masih menggunakan rumah yang kayu-kayunya dari ratusan tahun yang lalu, sehingga jika kita terus pelihara hutan kita yang kayu-kayunya lapale, makan sepanjang puluhan sampai ratusan tahun tidak ada penebangan pohon karena kayu-kayu asli dari tanah kita ini masih sangat awet. Berbeda dengan hari ini kita dipaksakan menanam mahoni dan jati yang kekuatannya hanya beberapa tahun sudah lapuk sehingga hampir setiap tahun selalu ada pemotongan kayu. Marilah para Rato generasi muda kita pulihkan dan jaga lingkungan hidup kita. Tutup Rato Kornelis Bili.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup NTT Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, S.Sos menyampaikan sambutanya dengan sapaan Wai Maringi Wai Malala dan disambut oleh hadirin dengan sapaan Maringina yang artinya kesejukan yang terus berlanjut.
Dalam paparannya, Umbu Wulang menegaskan bahwa ekologi, budaya, dan adat masyarakat Sumba saling berkaitan erat. Menurutnya, kerusakan alam akan melemahkan pelestarian budaya dan adat istiadat masyarakat Sumba. Karena itu, menjaga lingkungan berarti menjaga identitas orang Sumba. Ia menambahkan bahwa masyarakat harus bangga dengan budayanya sendiri, sembari menghidupkan kembali nilai-nilai pelestarian adat istiadat budaya Sumba dan lingkungan.
Kebudayan kita orang Sumba selalu disanjung oleh orang luar sana akan tetapi kebudayaan kita hanya berlaku pada urusan-urusan adat perkawinan dan kematian, kita melupakan kebudayaan atau adat istiadat tentang bagaimana menjaga teman hidup kita yaitu hutan, mata air, padang sabana, dan berbagai ternak local Sumba. Bahkan tradisi-tradisi pengkeramatan hutan, air, tradisi Rotu atau moratorium dianggap kafir padahal tradisi tersebut sangan berdampak dalam melestarikan lingkungan hidup kita. Hal tersebut menjadi miris rasanya kalau kita biarkan terus berlanjut. Marilah kita kembali pada kearifan local kita dalam hal menjaga lingkungan dan lain sebagainya.