
- Kuasa hukum ahli waris mendesak BPN TTS buka suara soal dugaan alih nama sertifikat tanpa persetujuan. Kasus tanah warisan di Oebobo, TTS, memicu kontroversi.
Soe, Timor-Savana — Polemik alih nama sertifikat tanah di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) kian panas. Kuasa hukum ahli waris, Samuel Tobe, SH., MH, resmi melayangkan surat permohonan klarifikasi dan mediasi ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) TTS.
Surat itu diajukan atas nama dua ahli waris, Dewi Sri Widya Ningsih Liukae dan Haromi Wanasita Liukae. Mereka mempertanyakan dugaan perubahan nama pemilik sertifikat tanpa persetujuan.
“Klien kami tidak pernah mengajukan permohonan balik nama. Namun, tiba-tiba sertifikat atas nama almarhum ayah mereka sudah beralih ke atas nama ibu kandung yakni Kompiang Lastri,” kata Samuel Tobe di Soe.
Menurutnya, peralihan nama tersebut janggal dan menimbulkan pertanyaan serius. Sebab, tidak ada satupun ahli waris yang menandatangani permohonan balik nama sebagaimana prosedur hukum yang berlaku.
Atas dasar itu, pihaknya menilai penting untuk meminta BPN TTS memberi klarifikasi resmi sekaligus membuka ruang mediasi bersama pihak-pihak terkait.
“Kami berharap masalah ini bisa diselesaikan di luar pengadilan. Klarifikasi dan mediasi di kantor BPN menjadi solusi awal agar tidak perlu dibawa ke ranah hukum,” ujarnya.
Objek tanah yang disengketakan berada di Desa Oebobo, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten TTS, dengan luas sekitar 5.900 meter persegi. Tanah tersebut merupakan peninggalan alm. Agus Leonidas Herman Liukae, orang tua ahli waris.
Samuel menjelaskan, sertifikat masih tercatat atas nama almarhum ketika digunakan sebagai jaminan kredit di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Soe. Namun dalam perjalanan, nama pemilik tiba-tiba berubah menjadi alm. Ni Kompiang Latri.
“Klien kami tidak pernah hadir di BPN, tidak pernah ikut akad kredit di BRI, dan tidak pernah menyetujui proses balik nama itu,” tegasnya.
Menurut ahli waris, ada kejanggalan dalam mekanisme pengalihan tersebut. Sertifikat yang awalnya dijaminkan masih atas nama Agus Liukae, tetapi saat ditelusuri, dokumen itu sudah tercatat atas nama Ni Kompiang Latri.
“Bagaimana proses itu bisa terjadi? Inilah yang kami minta BPN jelaskan,” kata Samuel.
Ia menilai, sebelum kasus ini masuk ke ranah hukum, penting bagi BPN TTS sebagai lembaga penerbit sertifikat untuk memberikan tanggapan resmi.
Dalam surat yang diajukan, pihaknya meminta BPN mengundang semua pihak terkait guna menguraikan duduk perkara. “Mediasi bisa membuka jalan damai sebelum sengketa ini berlanjut ke pengadilan,” tambahnya.
Menurut Samuel, jika benar prosedur hukum tidak dijalankan, maka alih nama itu cacat hukum. “Hak ahli waris bisa hilang hanya karena kelalaian administratif. Ini persoalan serius,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak BPN TTS belum memberikan keterangan resmi terkait surat permintaan klarifikasi tersebut.