Warga Noebana bongkar fakta baru soal Kepala Desa Noh Ninef: diduga terlibat kekerasan, mabuk, dan tak selesaikan urusan istri sah. Pembangunan pun terbengkalai.
Noebana, Timor-Savana– Dugaan perselingkuhan yang melibatkan Kepala Desa Noebana, Noh Ninef, dan Kepala Dusun III Desa Anin, Nonci Solle, terus menuai kecaman dari berbagai pihak.
Kali ini, suara lantang datang dari warga Desa Noebana sendiri. Sejumlah pemuda menyampaikan keresahan mereka atas sikap dan perilaku sang kepala desa, yang dinilai mencoreng nama baik kampung dan merusak kepercayaan publik.
Seorang pemuda yang tinggal di Noebana, melalui telepon mengungkap bahwa pernyataan Kepala Desa saat klarifikasi di Polsek Kie membuat warga makin geram. Dalam pertemuan tersebut, Noh Ninef sempat menyebut dirinya sebagai “pemain”—sebuah pernyataan yang dianggap melecehkan dan tidak pantas diucapkan oleh seorang pemimpin wilayah.
“Kami sebagai anak muda merasa sangat terganggu. Dari sudut pandang kami, pernyataan seperti itu sangat disayangkan keluar dari mulut seorang kepala desa,” ujarnya saat ditemui.
Lebih lanjut, warga tersebut membenarkan bahwa perempuan yang saat ini tinggal bersama Kepala Desa merupakan istri keempatnya. Namun, hubungan-hubungan sebelumnya diduga tidak pernah diselesaikan secara sah. Istri pertamanya disebut masih berstatus istri sah secara hukum karena tidak pernah ada proses perceraian resmi. Pengakuan ini bertalian dengan pengakuan keluarga suami Nonci Solle.
“Istri pertama masih sah secara hukum, hanya pisah begitu saja. Yang kedua dan ketiga juga tidak pernah menikah secara resmi. Yang ketiga bahkan cuma tinggal selama sembilan bulan, lalu pergi,” jelasnya.
Warga menyayangkan bahwa meski sebelumnya banyak yang menganggap persoalan ini sebagai urusan pribadi, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa dugaan pelanggaran etika dan moral oleh sang kades sudah berdampak langsung terhadap tata kelola pemerintahan desa.
“Dari awal kami pikir ini urusan rumah tangga. Tapi kalau sudah berdampak pada pembangunan dan citra kampung, itu jadi urusan kami juga. Ini sudah keterlaluan,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa selama ini pembangunan di Desa Noebana banyak terbengkalai. Menurutnya, kepala desa lebih banyak menghabiskan waktu untuk urusan pribadi dibanding menjalankan tugas pemerintahan. “Beliau jarang berkantor. Kami lihat sendiri, lebih banyak urus perempuan daripada urus desa,” tambahnya.
Warga juga menyinggung bahwa hampir semua perempuan yang pernah hidup bersama dengan kepala desa pada akhirnya meninggalkan rumah karena diduga mengalami kekerasan. “Setiap ada istri, pasti ada kasus. Kami dengar banyak yang lari karena dipukul,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, sang kepala desa juga dituding kerap mengonsumsi minuman keras hingga mabuk, yang kemudian memicu kekacauan di lingkungan desa. “Kalau soal mabuk, jangan tanya. Sudah biasa. Mabuk, buat huru-hara, bahkan suka keras kepala dan tidak mau dengar nasihat orang tua di kampung,” jelasnya.
Situasi ini membuat warga merasa kampung mereka telah kehilangan wibawa karena ulah kepala desa. “Kepala desa itu seharusnya jadi teladan, bukan sumber masalah. Tapi kenyataannya, kami yang jadi malu. Nama kampung rusak karena kelakuan satu orang,” tegas pemuda tersebut.
Menurutnya, banyak warga, termasuk tokoh masyarakat, merasa takut untuk memberikan masukan kepada kepala desa karena dikenal tempramental dan anti kritik. “Orang tua pun segan untuk bicara. Kepala desa tidak bisa dikasih tahu, kepala batu,” katanya.
Warga berharap agar pemerintah daerah segera mengambil sikap terhadap kondisi ini. Mereka menuntut evaluasi terhadap kepemimpinan Noh Ninef dan meminta agar aparat penegak hukum menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang terjadi.
“Kalau soal hukum, biarlah itu jadi urusan polisi. Tapi sebagai warga, kami tidak terima kalau kepala desa kami jadi sumber masalah terus. Pemerintah harus turun tangan,” pungkasnya.
Pengakuan dari warga, kerabat, dan orang dekat mulai bermunculan sejalan dan memperkuat dugaan bahwa kasus ini bukan hanya sekadar persoalan moral pribadi, tetapi sudah berdampak langsung pada tata kelola desa, ketertiban umum, serta keteladanan kepemimpinan di tingkat lokal.