Jeritan Anak-Anak Kuatae yang Menanti Jawaban

Di tengah puing-puing Desa Kuatae, anak-anak menuliskan surat-surat penuh harapan. Mereka tidak meminta kemewahan, hanya ingin kembali ke rumah yang telah hancur. Mampukah dunia mendengar tangisan mereka?

Malam merayap pelan di Desa Kuatae, membawa dingin yang menusuk tulang. Di bawah langit yang muram, desa itu tak lagi sama. Rumah-rumah telah rubuh, jalanan tertutup lumpur, dan hanya reruntuhan yang tersisa.

Hujan deras beberapa hari lalu telah menghapus kehangatan yang dulu mereka sebut sebagai rumah. Kini, hanya kesunyian dan duka yang menemani mereka.Namun, di antara reruntuhan itu, terdengar suara lirih anak-anak.

Mereka berkumpul, bukan untuk bermain, tetapi untuk menuangkan kesedihan mereka dalam surat-surat yang mereka tulis sendiri. Di sebuah aula darurat di SoE, mereka membaca surat itu satu per satu, suara mereka bergetar menahan air mata.

Bintang Taneo, seorang siswa kelas IX, berdiri di tengah ruangan. Dengan suara yang nyaris patah, ia membaca suratnya, “Tuhan, tolong Desa Kuatae. Aku ingin melupakan kenangan pahit ini, agar air mata kami tak lagi jatuh.”

Kata-katanya menggantung di udara, membebani hati siapa pun yang mendengarnya.Di sampingnya, Sri Ayu Lenamah, siswi kelas VIII, menatap kosong ke depan. “Saya ingin rumah yang layak, tempat di mana saya bisa merasa aman bersama keluarga saya,” katanya dengan nada penuh harap.

Tapi di balik harapan itu, ada ketakutan bahwa keinginan itu tak akan pernah terwujud.Rifki Ola, siswa kelas IX, mencoba menahan tangis saat membaca suratnya. “Saya ingin desa saya kembali seperti dulu, tempat di mana saya bisa bermain dan tertawa bersama teman-teman saya.”

Namun, ia tahu, desa itu telah berubah selamanya.Paling menyayat hati adalah suara Dea Benu, seorang siswi kelas VIII. “Setiap pagi, kami selalu memulai hari dengan doa. Lalu, tiba-tiba, hujan datang, tanah bergerak, rumah-rumah kami roboh.

Kami harus pergi meninggalkan desa yang penuh kenangan.” Dalam kalimat-kalimat sederhana itu, tersimpan kehilangan yang tak terbayangkan.Di tengah kesedihan itu, Yusinta Nenobahan, seorang putri daerah yang kini memimpin Yayasan YNS, berdiri di antara mereka.

Ia datang bukan hanya untuk membawa bantuan, tetapi untuk merasakan sendiri luka yang dialami saudara-saudaranya. Ia tersenyum, mengajak mereka bermain dan bernyanyi, berusaha menghapus kesedihan meski hanya sejenak.Namun, saat malam semakin larut, suasana kembali hening.

Tiba-tiba, suara lirih memenuhi ruangan—anak-anak mulai menyanyikan lagu Rindu Rumah. Suara mereka awalnya lemah, seakan-akan setiap lirik mengingatkan mereka pada sesuatu yang telah hilang. Tetapi semakin lama, suara mereka semakin lantang, bukan dalam kebahagiaan, tetapi dalam kepedihan yang begitu dalam.

“Rindu memaksaku untuk kembali, menengok kenangan masa kecilku…”Tangis pecah di mana-mana. Beberapa anak saling menggenggam tangan, berusaha menenangkan satu sama lain, sementara yang lain tak lagi mampu menahan air mata. Lagu itu bukan sekadar nyanyian, tetapi doa yang mereka kirimkan ke langit, memohon agar ada yang mendengar jeritan mereka.

Uchie, yang sejak awal mencoba tegar, akhirnya tak kuasa menahan air matanya. Ia tahu, anak-anak ini tidak meminta lebih dari yang seharusnya mereka miliki—rumah, rasa aman, dan harapan untuk masa depan. Tapi, di balik kepedihan ini, muncul pertanyaan yang menggantung di udara: adakah yang benar-benar mendengar tangisan mereka?

Berita Terkait

YNS Turun Tangan di Jalan Kolonakaf: ...
Alat Berat Turun, Jalan Kolonakaf Mulai ...
Rindu Tanah Leluhur, Yusinta Ningsih Memilih ...
YNS Kembali Bantu Korban Longsor TTS, ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *